Rabu, 24 September 2014

MACAPAT


Contoh Tembang Pucung
1. Judul "Klenthing"
Bapak Pucung.
Cangkeme madhep mandhuwur.
Sabamu ing sendhang.
Pencoanmu lambung kereng.
Prapteng wisma.
Si pucung mutah guwaya.

(ya itu yang namanya Klenthing).

2. Judul "Penthol Korek"
Bapak Pucung.
Amung sirah lawan gembung.
Padha dikunjara.
Mati sajroning ngaurip.
Mijil baka.
Si pucung dadi dahana.

(yo itu yang dinamakan penthol korek).

3. Judul "Sepur"
Bapak pucung.
Renteng-renteng koyo kalung.
Dowo koyo ulo.
Pencoanmu wesi miring.
Sing disobo.
Si pucung mung turut kutho.

(yo iku yang dinamakan sepur).

Pucung

Langsung menyang: pandhu arah, pados
Pucung (ana kalané tinulis pocung) iku tembang macapat kang ngélingaké marang pepati. Pucung cedhak karo tembung pocong. Kaya pralambang mori kanggo mbungkus layon, pucung dienggo tembang kang bisa ngélingaké marang manungsa yèn urip ing ndonya ana pungkasané.
Ananging Pucung uga nduwé watak liya. Pucung iku jenengé wiji woh-wohan. Wanda cung uga marai gawé rasa seger kang ngélingaké marang perkara kang lucu kaya déné isih jaman dikuncung. Tembang iki asring dienggo tembang-tembang kang uga lucu, kayata parikan utawa bedhèkan.

Metrum

Tembang Pucung mung ana patang gatra (larik) saben pada (bait).
  • 12-u
  • 6 -a
  • 8 -i
  • 12-a

Tuladha

Ngelmu iku kelakone kanthi laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyantosani
setya budya pangekesing dur angkara

Sekar pucung, dadi tamba ati bingung
Panglipuring rasa
Murih yuwana basuki
Marga-marga maweh berkahing Bathara
Semar iku, sugih tangis sugih guyu
Uga sugih utang
Nanging uga sugih dhuwit
Wis kaloka Kyai Semar sugih reka

Macapat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu.[1] Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali[2], Sasak[3], Madura[4], dan Sunda. Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang[5] dan Banjarmasin.[6] Biasanya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata.[7] Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula.[7] Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah.[8] Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.[8]
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru, pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat.[9]. Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya semacam 'daftar isi' saja.[9] Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat termasuk Serat Wedhatama[10], Serat Wulangreh[11], dan Serat Kalatidha.[12]
Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé.[13] Macapat digolongkan kepada kepada kategori tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé berdasarkan kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuna, namun dalam penggunaannya pada masa Mataram Baru, tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek.[13] Di sisi lain tembang tengahan juga bisa merujuk kepada kidung, puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.[14]
Kalau dibandingkan dengan kakawin, aturan-aturan dalam macapat berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada bahasa Sanskerta, dalam macapat perbedaan antara suku kata panjang dan pendek diabaikan.

Etimologi

Pada umumnya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata.[7] Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula.[7] Seorang pakar Sastra Jawa, Arps menguraikan beberapa arti-arti lainnya di dalam bukunya Tembang in two traditions.[7]
Selain yang telah disebut di atas ini, arti lainnya ialah bahwa -pat merujuk kepada jumlah tanda diakritis (sandhangan) dalam aksara Jawa yang relevan dalam penembangan macapat.[7]
Kemudian menurut Serat Mardawalagu, yang dikarang oleh Ranggawarsita, macapat merupakan singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang artinya ialah "melagukan nada keempat".[7] Selain maca-pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan maca-tri-lagu.[7] Konon maca-sa termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri.[7] Ternyata ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama tembang gedhé.[7] Maca-ro termasuk tipe tembang gedhé di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara jumlah sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara.[7] Maca-tri atau kategori yang ketiga adalah tembang tengahan yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya.[7] Dan akhirnya, macapat atau tembang cilik diciptakan oleh Sunan Bonang dan diturunkan kepada semua wali.[7]

Sejarah macapat

Secara umum diperkirakan bahwa macapat muncul pada akhir masa Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah.[8] Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.[8] Sebagai contoh ada sebuah teks dari Bali atau Jawa Timur yang dikenal dengan judul Kidung Ranggalawé dikatakan telah selesai ditulis pada tahun 1334 Masehi.[13] Namun di sisi lain, tarikh ini disangsikan karena karya ini hanya dikenal versinya yang lebih mutakhir dan semua naskah yang memuat teks ini berasal dari Bali.[15]
Sementara itu mengenai usia macapat, terutama hubungannya dengan kakawin, mana yang lebih tua, terdapat dua pendapat yang berbeda. Prijohoetomo berpendapat bahwa macapat merupakan turunan kakawin dengan tembang gedhé sebagai perantara.[16] Pendapat ini disangkal oleh Poerbatjaraka dan Zoetmulder. Menurut kedua pakar ini macapat sebagai metrum puisi asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin. Maka macapat baru muncul setelah pengaruh India semakin pudar.

Struktur macapat

Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap pupuh dibagi menjadi beberapa pada.[9] Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama. Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.[9]
Jumlah pada per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan.[9] Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra.[9] Sementara setiap larik atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda.[9] Setiap gatra jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula.[9]
Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan.[9] Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.[9]

Jenis metrum macapat

Jumlah metrum baku macapat ada limabelas buah. Lalu metrum-metrum ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Kategori tembang cilik memuat sembilan metrum, tembang tengahan enam metrum dan tembang gedhé satu metrum.

Tabel macapat

Supaya lebih mudah membedakan antara guru gatra, guru wilangan lan guru lagu dari tembang-tembang tadi, maka setiap metrum ditata di dalam sebuah tabel seperti di bawah ini[17]:
Metrum
Gatra
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
Tembang cilik / Sekar alit
Dhandhanggula
10
10i
10a
7u
9i
7a
6u
8a
12i
7a
Maskumambang
4
12i
6a
8i
8a
Sinom
9
8a
8i
8a
8i
7i
8u
7a
8i
12a
Kinanthi
6
8u
8i
8a
8i
8a
8i
Asmarandana
7
8a
8i
8a
7a
8u
8a
Durma
7
12a
7i
6a
7a
8i
5a
7i
Pangkur
7
8a
11i
8u
7a
12u
8a
8i
Mijil
6
10i
6o
10é
10i
6i
6u
Pocung
4
12u
6a
8i
12a
Tembang tengahan / Sekar madya
Jurudhemung
7
8a
8u
8u
8a
8u
8a
8u
Wirangrong
6
8i
8o
10u
6i
7a
8a
Balabak
6
12a
12a
12u
Gambuh
5
7u
10u
12i
8u
8o
Megatruh
5
12u
8i
8u
8i
8o
Tembang gedhé / Sekar ageng
Girisa
8
8a
8a
8a
8a
8a
8a
8a
8a

Contoh penggunaan metrum macapat

Di bawah ini disajikan contoh-contoh penggunaan setiap metrum macapat dalam bahasa Jawa beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Dijelaskan pula tokoh penciptanya menurut legenda dan watak setiap metrum

Dhandhanggula

Dhandhanggula adalah sebuah metrum yang memiliki watak luwes. Metrum ini diatribusikan kepada Sunan Kalijaga.
Contoh (Serat Jayalengkara):
Bahasa Jawa
Bahasa Indonesia
Prajêng Medhang Kamulan winarni,
Diceritakan mengenai kerajaan Medhang Kamulan,
narèndrâdi Sri Jayalengkara,
ketika sang raja agung Sri Jayalengkara
kang jumeneng nerpatiné,
yang bertahta sebagai raja
ambek santa budi alus,
memiliki pikiran tenang dan berbudi halus
nata dibya putus ing niti,
raja utama pandai dalam ilmu politik
asih ing wadya tantra,
mengasihi para bala tentara
paramartêng wadu,
sayang terhadap para wanita
widagdêng mring kasudiran,
teguh terhadap jiwa kepahlawanan
sida sedya putus ing agal lan alit,
berhasil dalam berkarya secara lahiriah maupun batiniah
tan kènger ing aksara.
tidak terpengaruh sihir.

Maskumambang

Gereng-gereng Gathotkaca sru anangis
Sambaté mlas arsa
Luhnya marawayan mili
Gung tinamêng astanira

Sinom

Pangéran Panggung saksana,
Anyangking daluwang mangsi,
Dènira manjing dahana,
Alungguh sajroning geni,
Èca sarwi nenulis,
Ing jero pawaka murub.

Asmaradana

Aja turu soré kaki Ana Déwa nganglang jagad Nyangking bokor kencanané Isine donga tetulak Sandhang kelawan pangan Yaiku bagéyanipun wong welek sabar narima

Kinanthi

Metrum Kinanthi ini memiliki watak gandrung dan piwulang. Metrum ini konon diciptakan oleh Sultan Adi Erucakra.
Contoh (Serat Rama gubahan Yasadipura):
Anoman malumpat sampun,
Praptêng witing nagasari,
Mulat mangandhap katingal,
Wanodyâyu kuru aking,
Gelung rusak awor kisma,
Ingkang iga-iga kêksi.

Pangkur

Lumuh tukua pawarta,
Tan saranta nuruti hardengati,
Satata tansah tinemu,
Kataman martotama,
Kadarmaning narendra sudibya sadu,
Wus mangkana kalih samya,
Sareng manguswa pada ji.
(Haji Pamasa, Ranggawarsita)

Pangkur

Mingkar mingkuring angkara,
Akarana karenan mardi siwi,
Mangka nadyan tuwa pikun,
Yen tan mekani rasa,
Yekti sepi sepa lir asepa samun,
Samangsane pakumpulan,
Gonyak ganyuk nglelingsemi.

Durma

Damarwulan aja ngucireng ngayuda, 12 a
Baliya sun anteni, 7 i
Mangsa sun mundura, 6 a
Lah Bisma den prayitna, 7 a
Katiban pusaka mami, 8 i
Mara tibakna, 5 a
Curiganira nuli. 7 i
(Langendriyan)

Mijil

Jalak uren mawurahan sami, 10 i
Samadya andon woh, 6 o
Amuwuhi malad wiyadine, 10 e
Ana manuk mamatuk sasari, 10 i
Angsoka sulastri, 6 i
Ruru karya gandrung. 6 u
(Haji Pamasa, Ranggawarsita)

Pucung

Pucung adalah salah satu dari 12 puisi jawa (tembang macapat) yang sangat sederhana sekali. Pucung biasa disebut juga dengan pocung. Pucung adalah tetembangan yang digunakan untuk mengingat pada kematikan, karena dekat dengan kata “pocong” yaitu pembungkusan mayat saat mau dikubur. Selain itu pucung juga berarti woh-wohan (buah-buahan) yang memberikan kesegaran. Dan kata “cung” sendiri mengingatkan pada kuncung yang lucu. Oleh sebab itu perkembangan dari tembang ini merujuk kepada hal-hal lucu atau parikan atau bedhekan (tebakan).
Pucung sendiri memiliki watak kendur, tanpa adanya klimaks dan tujuan dalam cerita. Dalam membuat pucung tidak boleh asal-asalan karena ada aturannya.
Berikut aturan dari tembang pucung.
1. Guru gatra = 4
Artinya tembang ini memiliki 4 larik kalimat.
2. Juru wilangan = 12, 6, 8, 12
Maksudnya tiap kalimat harus bersuku kata seperti diatas. Kalimat pertama 12 suku kata. Kalimat kedua 6 suku kata. Kalimat ketiga 8 suku kata. Kalimat keempat 12 suku kata.
3. Guru lagu = u, a, i, a
Akhir suku kata dari setiap kalimat harus bervokal u, a, i, a
Berikut ini adalah contoh tembang pucung.
Ngelmu iku kelakone kanthi laku --> u
Lekase lawan kas --> a
Tegese kas nyantosani --> i
Setya budya pengekesing dur angkara --> a

Jurudemung

Tuladha iki dijupuk saka Serat Pranacitra
ni ajeng mring gandhok wétan
wus panggih lan Rara Mendut
alon wijilé kang wuwus
hèh Mendut pamintanira
adhedhasar adol bungkus
wus katur sarta kalilan
déning jeng kyai Tumenggung.

Tuladha iki dijupuk saka Serat Sekar-sekaran anggitan Mangkunegaran IV.
cirining serat iberan
kebo bang sungunya tanggung
saben kepi mirah ingsun
katon pupur lalamatan
kunir pita kasut kayu
wulucumbu Madukara paran margane ketemu

Wirangrong

Tuladha iki dijupuk saka Serat Wulang Rèh anggitan dalem Ingkang Sinuhun Pakubuwana IV.
dèn samya marsudêng budi
wiwéka dipunwaspaos
aja-dumèh-dumèh bisa muwus
yèn tan pantes ugi
sanadyan mung sakecap
yèn tan pantes prenahira

Balabak

Tuladha iki dijupuk saka Serat Jaka Lodhang anggitan Ki Ranggawarsita.
byar rahina Kèn Rara wus maring sendhang
mamèt wé
turut marga nyambi reramban janganan
antuké
praptêng wisma wusing nyapu atetebah
jogané

Tuladha iki anggitane Ki Padmosukoco.
kabalabak jroning jagad gedhe ana,
yektine
jagad cilik sinorotan surya, kembar
pandhane
soring surya ana gunung gung saguja,
blegere

Gambuh

Sekar gambuh ping catur,
Kang cinatur polah kang kalantur,
Tanpa tutur katula tula katali,
Kadaluwarsa katutuh,
Kapatuh pan dadi awon.

Megatruh

Tuladha iki dijupuk saka Babad Tanah Jawi anggitan Ki Yasadipura.
"sigra milir kang gèthèk sinangga bajul"
"kawan dasa kang njagèni"
"ing ngarsa miwah ing pungkur"
"tanapi ing kanan kéring"
"kang gèthèk lampahnya alon"

Girisa

Metrum ini memiliki watak megah (mrebawani). Metrum ini diambil dari metrum kakawin dengan nama yang sama.
Dene utamaning nata, 8 a
Berbudi bawa leksana, 8 a
Lire berbudi mangkana, 8 a
Lila legawa ing driya, 8 a
Agung dennya paring dana, 8 a
Anggeganjar saben dina, 8 a
Lire kang bawa leksana, 8 a
Anetepi pangandika. 8 a



TUGAS DULU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar