Tuanku Imam Bonjol memiliki nama asli Muhammad Sahab atau
dikenal juga dengan Petto Syarif. Beliau adalah seorang guru agama. Ilmu agama
dipelajari dan sang ayah, Buya Nurdin,juga guru agama lain, seperti Tuanku Nan
Renceh. Penguasaan agama yang baik membuat beliau kemudian menjadi guru agama
terkemuka di daerah Bonjol dan mendapat gelar Tuanku Imam Bonjol.
Pada
tahun 1821, perang saudara antara kaum Paderi yang ingin melaksanakan ajaran
agama dengan baik dan didukung para ulama melawan kaum Adat yang didukung
Belanda berkobar kembali. Peperangan ini sebenarnya terjadi karena politik adu
domba yang diterapkan Belanda untuk menguasai Sumatera Barat. Tuanku Imam Bonjol memimpin
pasukannya untuk menghadapi Belanda. Perlawanan sengit dan pasukan Imam
Bonjol membuat Belanda kewalahan. Belanda kemudian terpaksa mengadakan
perjanjian damai pada tahun 1824 yang dikenal sebagai Perjanjian Masang. Namun,
tidak bertahan lama karena dilanggar sendiri oleh Belanda.
Kaum
Paderi dan Adat pda akhirnya menyadari bahwa pertentangan mereka hanya
merugikan rakyat Minangkabau secara keseluruhan, bahkan membuat Belanda dapat
memasuki tanah mereka. Kesepakatan damai terwujud dalam Plakat Tabek Patah yang
berisi consensus bahwa adat berdasarkan agama dan agama berdasarkan Kitabullah
(Al Quran). Sejak tahun 1833, rakyat Minang bersatu melawan Belanda. Selama 3
tahun Belanda kewalahan dan tidak mampu menguasai Bonjol sebagai sasaran utama
mereka. Untuk itu, Belanda kembali mendatangkan pasukan dalam jumlah besar,
termasuk dan Afrika yang disebut pasukan Sepoys. Sekitar 6000 tentara Belanda
mengepung wilayah Bonjol sebagai benteng terkuat pasukan Imam Bonjol
selama Januari-Desember 1837. Bonjol baru dapat direbut Belanda pada
tanggal 16 Agustus 1837. Imam Bonjol yang berhasil menyelamatkan diri dijebak
Belanda dalam sebuah perundingan dan dibuang ke Cianjur, Ambon, dan akhirnya
dipindahkan ke Lotan, Manado. Beliau meninggal dunia di tempat pembuangan
terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar